Komisi XII DPR Akan Cek Lokasi Operasional 3 Perusahaan Tambang di Raja Ampat

Raja Ampat, sebuah kabupaten kepulauan di Papua Barat Daya, telah lama dikenal sebagai permata ekowisata Indonesia, bahkan dunia. Keindahan bawah lautnya, kekayaan biodiversitas, dan nilai-nilai budaya lokal menjadikan wilayah ini sebagai simbol keharmonisan antara manusia dan alam. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan mulai mencuat di balik panorama birunya laut Raja Ampat—ketika eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral mulai masuk ke kawasan tersebut.
Kabar tentang izin operasi tiga perusahaan tambang di wilayah ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat dan komunitas internasional. Menanggapi hal itu, Komisi XII DPR RI memutuskan untuk turun langsung ke lapangan guna meninjau secara langsung aktivitas ketiga perusahaan tersebut, baik dari aspek legalitas, sosial, maupun ekologis.

Latar Belakang: Raja Ampat dan Kekayaan Alamnya
Raja Ampat memiliki sekitar 1.500 pulau kecil, atol, dan karang yang tersebar di bagian barat Semenanjung Kepala Burung Papua. Keanekaragaman hayati lautnya sangat luar biasa, dengan lebih dari 1.300 spesies ikan dan 600 spesies terumbu karang yang tercatat—menjadikannya salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia.
Selain kekayaan laut, daratan Raja Ampat juga mengandung potensi tambang seperti nikel, emas, bauksit, dan logam tanah jarang. Potensi inilah yang mulai menarik perhatian para investor tambang. Meski demikian, banyak pihak menilai bahwa tambang di kawasan ini sangat riskan karena dampaknya terhadap ekosistem sensitif dan mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada alam.
Tiga Perusahaan Tambang yang Disorot
Komisi XII DPR belum secara resmi merilis nama ketiga perusahaan tambang tersebut, namun berdasarkan penelusuran di berbagai dokumen publik, sejumlah perusahaan yang disebut-sebut aktif di wilayah ini meliputi:
- PT Anugerah Mineral Papua
Perusahaan ini disebut memiliki konsesi eksplorasi di wilayah Waigeo Selatan, dekat dengan kawasan hutan lindung dan kampung adat masyarakat Suku Maya. - PT Cendrawasih Tambang Raya
Bergerak di sektor nikel dan diduga telah melakukan pengeboran tanpa sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat lokal. - PT Raja Logam Internasional
Fokus pada tambang emas dan logam tanah jarang, perusahaan ini ditengarai memiliki izin operasi di wilayah yang bersinggungan langsung dengan jalur migrasi satwa liar.
Keberadaan mereka menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana perizinan dikeluarkan, pengawasan yang dilakukan pemerintah daerah dan pusat, serta sejauh mana AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dilakukan secara transparan.
Peran Komisi XII DPR dalam Pengawasan
Komisi XII DPR RI yang membidangi urusan pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi, agama, kepemudaan, dan kesejahteraan sosial sebenarnya bukan komisi teknis di bidang pertambangan. Namun dalam konteks ini, keterlibatan Komisi XII lebih berfokus pada dampak sosial, budaya, dan keberlanjutan terhadap masyarakat dan pendidikan lokal yang terdampak oleh aktivitas industri ekstraktif.
Rencana pengecekan lapangan ini muncul setelah serangkaian aduan masyarakat adat, LSM lingkungan, dan tokoh pendidikan yang menyuarakan kekhawatiran mereka atas rusaknya situs budaya, potensi pencemaran lingkungan, dan terancamnya keberlangsungan program pendidikan dan kebudayaan lokal akibat masifnya kegiatan tambang.
Aspirasi Masyarakat Adat dan LSM
Kelompok masyarakat adat Suku Maya, Matbat, dan Biak yang mendiami wilayah Raja Ampat telah menyuarakan penolakan mereka terhadap tambang sejak awal 2022. Mereka menggelar pertemuan adat, ritual tolak bala, serta menandatangani petisi penolakan terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang dianggap merusak tanah leluhur mereka.
Koalisi LSM seperti WALHI, Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka, dan LBH Papua telah mengadvokasi isu ini ke tingkat nasional dan internasional. Mereka menilai bahwa keberadaan tambang tidak hanya mengancam lingkungan tetapi juga hak-hak masyarakat adat yang secara historis belum mendapat pengakuan penuh atas tanah ulayat mereka.
Kajian AMDAL dan Proses Perizinan yang Dipertanyakan
Salah satu isu utama yang akan ditinjau oleh Komisi XII adalah keabsahan dokumen AMDAL dan proses perizinan yang diberikan kepada ketiga perusahaan tersebut. Ada dugaan bahwa beberapa dari dokumen tersebut dibuat tanpa partisipasi publik yang memadai, bahkan tanpa konsultasi terhadap masyarakat adat yang terdampak langsung.
Beberapa pakar menyebut bahwa proses ini sarat dengan konflik kepentingan, di mana perusahaan menggunakan jalur “politik lokal” untuk mempercepat proses perizinan tanpa uji kelayakan yang akurat terhadap risiko ekologis.
Risiko Lingkungan yang Mengancam
Tambang di wilayah Raja Ampat, meskipun masih pada tahap eksplorasi, sudah menunjukkan dampak yang mengkhawatirkan. Di antaranya:
- Kerusakan kawasan hutan dan aliran sungai, yang menjadi habitat penting bagi spesies endemik.
- Pencemaran laut, baik dari limbah pengeboran maupun tumpahan bahan kimia tambang yang mencemari ekosistem terumbu karang.
- Gangguan terhadap satwa liar, terutama burung cendrawasih, kelelawar gua, dan penyu yang menggunakan pantai Raja Ampat sebagai tempat bertelur.
Dampak Sosial-Ekonomi terhadap Komunitas Lokal
Raja Ampat adalah wilayah yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan, pariwisata, dan budaya lokal. Masuknya tambang ke wilayah ini memunculkan keresahan mengenai:
- Hilangan mata pencaharian nelayan lokal akibat rusaknya terumbu karang dan tercemarnya perairan.
- Penurunan minat wisatawan internasional karena perubahan citra Raja Ampat sebagai kawasan konservasi menjadi zona industri.
- Konflik horizontal di antara komunitas—antara yang mendukung investasi tambang karena iming-iming ekonomi, dan yang menolak karena dampak lingkungan.
Proyeksi Jangka Panjang: Antara Harapan dan Kekhawatiran
Jika ketiga perusahaan ini terus beroperasi tanpa pengawasan ketat, maka dikhawatirkan dalam kurun waktu 5–10 tahun ke depan, Raja Ampat bisa mengalami kerusakan permanen baik dari segi lingkungan maupun sosial budaya. Kerusakan ini tidak mudah dipulihkan, bahkan bisa memicu migrasi masyarakat, hilangnya bahasa dan budaya lokal, serta matinya potensi wisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Namun di sisi lain, jika ditangani dengan benar—melalui audit lingkungan, peninjauan ulang perizinan, dan penguatan partisipasi masyarakat—maka konflik ini bisa menjadi titik balik menuju model pembangunan berkelanjutan di Papua Barat Daya.
Sikap Pemerintah Daerah
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya sejauh ini belum menunjukkan sikap yang solid. Beberapa pejabat lokal tampak mendukung investasi tambang atas dasar pembangunan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun sebagian lainnya justru menunjukkan sikap berhati-hati, mengingat reputasi Raja Ampat sebagai destinasi konservasi global.
Gubernur Papua Barat Daya dalam salah satu pernyataan publiknya mengatakan bahwa “Pembangunan harus berlandaskan prinsip kehati-hatian, terlebih bila menyangkut alam Papua yang sangat sakral bagi masyarakatnya.”
Upaya Legislasi dan Penguatan Aturan
Komisi XII DPR juga berencana untuk mengkaji ulang peraturan-peraturan yang mengatur tata ruang wilayah konservasi yang bersinggungan dengan industri ekstraktif. Hal ini termasuk evaluasi terhadap UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Beberapa anggota Komisi XII mendorong agar kawasan Raja Ampat dimasukkan dalam kategori zona hijau permanen, di mana segala bentuk eksploitasi sumber daya tidak diperbolehkan kecuali untuk kepentingan konservasi dan pendidikan.
Pendekatan Kolaboratif: Jalan Tengah yang Diusulkan
Sejumlah pihak mengusulkan pendekatan kolaboratif sebagai jalan tengah, antara lain:
- Audit independen lingkungan dan sosial terhadap tiga perusahaan yang dimaksud.
- Penguatan peran masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.
- Pembangunan alternatif ekonomi berkelanjutan seperti ekowisata berbasis komunitas, pertanian organik, dan budidaya laut berwawasan lingkungan.
- Pendidikan lingkungan untuk generasi muda Raja Ampat agar mereka memahami pentingnya menjaga warisan alam mereka.
Kesimpulan: Titik Kritis Masa Depan Raja Ampat
Rencana kunjungan Komisi XII DPR ke lokasi tambang di Raja Ampat adalah sinyal penting bahwa pemerintah pusat mulai menaruh perhatian serius terhadap potensi konflik antara pembangunan dan konservasi di wilayah timur Indonesia. Kunjungan ini diharapkan tidak hanya menjadi bentuk ceremonial belaka, tetapi benar-benar menandai langkah konkret untuk menata ulang arah pembangunan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sosial.
Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tetapi milik dunia. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan seperti apa wajahnya 50 hingga 100 tahun ke depan—apakah tetap menjadi surga kehidupan laut, atau justru menjadi kawasan industri yang kehilangan jiwanya.
Baca Juga : 100 Hari Kerja Pramono Anung–Rano Karno Pimpin Jakarta: Evaluasi Awal dan Harapan ke Depan